Angklung

Angklung (onomatopoeic) adalah alat musik yang terbuat dari bambu. Dibunyikan dengan cara digoyang atau digetarkan (tremolo). Bambunya tidak bisa sembarangan dan hanya beberapa jenis saja yang bisa dijadikan angklung, misalnya bambu hitam (gigantochloa atter), bambu tali (gigantochloa apus) dan bambu tutul (bambusa vulgaris). Angklung tradisional biasanya terbuat dari bambu hitam yang disebut dengan awi hideung, awi wulung, awi cangkeuteuk, atau awi temen.Bambu-bambu tersebut dipandang paling baik karena dapat menghasilkan suara yang nyaring.

Memilih, menebang dan mengeringkannya juga tidak bisa sembarangan dan harus mengikuti aturan tertentu. Demikian pula, bulan, hari, dan jam penebangan, harus mengikuti aturan tradisi. Semua aturan itu, secara praktis akan menentukan ketahanan dan bunyi yang dihasilkan manakala angklung sudah jadi. Bambu yang akan ditebang biasanya bambu yang sudah berumur tiga atau empat tahun. Pemilihannya ditentukan dengan cara melihat tunas-tunas bambu yang tumbuh pada rumpunnya. Apabila sudah bertunas satu atau dua (saadi atau dua adi), maka bambu tersebut sudah bisa ditebang. Waktu penebangannya dilakukan pada bulan Juli atau pada bulan-bulan musim kemarau, antara pukul 09.00 s/d 10.00. Harinya dihitung berdasarkan Aboge. Waktu tersebut berkaitan dengan perkiraan, bahwa kadar air dalam bambu sedang turun. Setelah ditebang, bambu dibiarkan di sekitar rumpunnya selama dua minggu, sampai dengan daun dan rantingnya mengering. Setelah itu, baru bambu dibersihkan dan dikeringkan, baik dengan cara diunun (diasapi) maupun dijemur atau diangin-angin dalam suhu yang sedang di ruangan terbuka. Proses pengeringan bisa memakan waktu berbulan-bulan (enam bulan) bahkan sampai tahunan. Proses yang lama tersebut, sekaligus sebagai proses penyeleksian ruas-ruas bambu. Mana ruas yang kena hama (bubuk) dan mana yang tidak? Hanya bambu yang muluslah yang dijadikan angklung.

Dikenal dua macam angklung, yakni angklung yang bertangga nada pentatonik, dan angklung yang bertangga nada diatonik. Kedua jenis angklung tersebut sekaligus menunjukkan perbedaan bentuk dan fungsinya. Angklung pentatonik adalah angklung tradisional, biasanya terdiri atas dua atau tiga buah ruas (tabung) yang disusun/disatukan berjajar. Masing-masing tabung mempunyai ketinggian sendiri dan berdiri pada lubang tabung bambu bagian bawah, kemudian dikuatkan oleh dua buah tiang di kiri-kanan dan palang yang menusuk bagian atas tabung. Untuk memperkokohnya, pertemuan antara tiang dan palang diikat oleh tali dari rotan. Ujung tiangnya ada yang berupa palang yang diratakan, dan ada juga yang dilengkungkan disertai hiasan rumbai dari daun pelah. Jika angklung itu memiliki dua tabung, maka tabung yang satu bernada lebih tinggi dan satunya lebih rendah. Misalnya, tabung yang satu itu bernada a, maka tabung kedua bernada a 1(oktav). Tabung yang lebih tinggi bernada tinggi, dan sebaliknya. Masing-masing angklung mempunyai namanya sendiri. Misalnya,

Dalam kehidupan masyarakat tradisional, angklung biasanya berfungsi sebagai salah satu media upacara, misalnya pada upacara menanam padi (ngaseuk) dan sehabis panen (ngampihkeun pare), di Baduy, seren taun di Cigugur-Kuningan, dan sebagainya. Dalam upacara ngaseuk dan ngampihkeun pare, angklung ditabuh sambil berjalan beriringan. Oleh sebab itu angklung ini disebut dengan angklung aleut. Aleut atau ngaleut (bhs. Sunda), artinya iring-iringan.

Angklung yang tersebar di berbagai wilayah Jawa Barat mempunyai latar belakang dan fungsinya masing-masing. Oleh karena itu dikenal banyak sebutan angklung, seperti angklung sered, angklung gubrag, angklung badeng, angklung bungko, angklung buncis, angklung badud, dan lain-lain. Masing-masing sebutan itu sekaligus menunjukkan tatacara permain, lagu, dan fungsinya. Setiap angklung mempunyai ukuran dan namannya sendiri, misalnya angklung aleut yang berjumlah delapan buah itu masing-masing bernama: 1) indung gede (1 meter), 2) ringkung (95 cm), 3) dongdong (90 cm), 4) gunjing (85 cm), 5) engklok (80 cm), 6) indung leutik (70 cm), 7) torolok (50 cm), dan 8) roel (40 cm). Misal lainnya adalah nama-nama angklung gubrag di kampung Cipiring, Desa Argapura, Kabupaten Bogor: 1) roel, berjumlah tiga buah dengan ukuran ± 85 cm; 2) kurulung berjumlah dua buah degan ukuran ± 90 cm; dan 3) engklok dua buah dengan ukuran ± 1 m.

 Angklung diatonik adalah angklung hasil modifikasi dari angklung tradisional. Pemrakarsanya adalah Daeng Sutigna. Oleh sebab itu, jenis angklung ini pada awalnya disebut Angklung Pa Daeng. Sebuah sebutan yang dimaksudkan untuk menghargai prakarsanya. Tangga nadanya mengacu pada tangga nada musik Barat, diatonik (do, re, mi, fa, so, la, ti).

Dalam membuat angklung diatonik, Daeng meminta bantuan kepada seorang pembuat angklung tradisional di Kuningan, Jaya namanya. Setelah angklung itu terwujud, ia kemudian memperkenalkan permainan angklung tersebut kepada anak-anak Pramuka binaannya. Melalui proses pembinaan yang panjang, akhirnya permainan angklung itu mendapat sambutan yang luas dan digemari oleh berbagai kalangan. Penyebarannya melalui sekolah-sekolah, dari tingkat SLTP s/d Perguruan Tinggi, bahkan juga ke organisasi-organisasi kesenian. Akhirnya menyebar ke seluruh Jawa Barat, dan sering dijadikan sebagai salah satu mata acara pertunjukan kesenian. Kini angklung tersebut telah merambah dunia.

Pertunjukan angklung diatonik memerlukan banyak orang. Ini sesuai dengan jenis dan fungsi masing-masing angklung yang terbagi atas: angklung melodi, dan angklung akompanyemen (mayor dan minor). Angklung melodi biasanya berjumlah 27 atau 31 buah, sedangkan angklung akompanyemen berjumlah 9 s/d 24 buah. Pertunjukannya kemudian berkembang dengan penambahan beberapa alat musik lainnya antara lain: bascymbal, dan cello. Kini, pertunjukan angklung secara rutin dapat disaksikan di Saung Angklung Udjo, Jl. Padasuka, Bandung. (Toto Amsar Suanda)